Rabu, 22 Juni 2011

Kisah Pohon Apel

Cerita ini hanya sebuah Renungan buat kita yang mungkin terkadang lupa seberapa besar pengorbanan ke dua orang tua kita.....Semoga bermanfaat……

Suatu masa  dahulu,  terdapat  sebatang  pohon  apel  yang  amat  besar.Seorang  kanak-kanak  lelaki begitu gemar bermain-main di sekitar pohon apel  ini setiap hari. Dia memanjat pohon  tersebut,  memetik  serta  memakan  apel  sepuas-puas  hatinya,  dan  adakalanya  dia beristirahat lalu terlelap di perdu pohon apel tersebut. Anak lelaki tersebut begitu menyayangi tempat permainannya. Pohon  apel  itu  juga menyukai  anak  tersebut. 
 
Masa  berlalu…  anak  lelaki  itu  sudah besar dan menjadi seorang remaja. Dia tidak lagi menghabiskan masanya setiap hari bermain di  sekitar  pohon  apel  tersebut.  Namun  begitu,  suatu  hari  dia  datang  kepada  pohon  apel tersebut dengan wajah yang sedih. “Marilah bermain-mainlah di sekitarku,” ajak pohon apel itu. “Aku bukan  lagi kanak-kanak, aku  tidak  lagi gemar bermain dengan engkau,”  jawab remaja itu.
“Aku mau permainan. Aku perlu uang untuk membelinya,”  tambah  remaja  itu dengan nada yang sedih. Lalu  pohon  apel  itu  berkata,  “Kalau  begitu,  petiklah  apel-apel  yang  ada  padaku. Juallah  untuk  mendapatkan  uang.  Dengan  itu,  kau  dapat  membeli  permainan  yang kauinginkan.” Remaja itu dengan gembiranya memetik semua apel di pohon itu dan pergi dari situ. Dia tidak kembali lagi selepas itu. Pohon apel itu merasa sedih.
 

SELEMBAR BULU MATA

Diceritakan di Hari Pembalasan kelak, ada seorang hamba Allah sedang diadili. Ia dituduh bersalah, mensia-siakan umurnya di dunia untuk berbuat maksiat. Tetapi ia berkeras membantah.

"Tidak. Demi langit dan bumi sungguh tidak benar. Saya tidak melakukan semua itu."

"Tetapi saksi-saksi mengatakan engkau betul-betul telah menjerumuskan dirimu sendiri ke dalam dosa," jawab malaikat.

Orang itu menoleh ke kiri dan ke kanan, lalu ke segenap penjuru. Tetapi anehnya, ia tidak menjumpai seorang saksi pun yang sedang berdiri. Di situ hanya ada dia sendirian. Makanya ia pun menyanggah,

"Manakah saksi-saksi yang kau maksudkan? Disini tidak ada siapa kecuali aku dan suaramu."

"Inilah saksi-saksi itu," ujar malaikat.

Tiba-tiba mata angkat bicara, "Saya yang memandangi."

Disusuli oleh telinga, "Saya yang mendengarkan. "

Hidung pun tidak ketinggalan, "Saya yang mencium."

Kamis, 02 Juni 2011

Jalani Saja ...

Hakekat hidup adalah menjalani, mungkin sebagian orang sering berkata dengan landai, Sudahlah hidup ini “JALANI SAJA...”. Mungkin sebagian kita bertanya, mengapa tidak berusaha sekuat tenaga ?, dua-duanya benar, hanya, di letakkan di mana ungkapan tersebut. Manusia merupakan makluk paling sempurna di muka bumi, kesempurnaanya di letakkan dalam Akal dan Fikiran. Sedangkan akal dan fikiran hidup karena adanya Zat Mulia dari Allah yang sering disebut dengan Zat Ilahi atau Ruhul Qudus yang ada dalam diri manusia, sehingga manusia dikatakan Wali di muka bumi. Wakil Allah untuk memelihara dan memanfaatkan bumi dan isinya. Catatan... Manusia dalam memelihara dan memanfaatkan bumi dan isinya harus sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan sebagaimana firman Tuhan dalam kitab-kitab-Nya.

Dimensi Jiwa Manusia Dalam Perspektif Islam

Dalam panggung sejarah manusia, pernah hidup dua orang saudara kandung. Awalnya perjalanan hidup keduanya diwarnai keharmonisan dan saling pengertian. Kondisi seperti ini berubah ketika keduanya mencapai usia berkeluarga.

Sang ayah memerintahkan si kakak agar menikah dengan saudari kembar adiknya, sementara adiknya dijodohkan dengan saudari kembarnya. Pada titik ini nafsu buruk mulai mencuat dan berperan. Tidak seperti adiknya, si kakak menolak perintah, lantaran pilihan sang ayah tak cocok dengan harapannya. Kemudian sang ayah memerintahkan keduanya untuk berkorban. Si kakak yang petani menyiapkan hasil tanamannya yang jelek . sebaliknya adiknya yang peternak memilih yang terbaik diantara hewan peliharaanya. Tentu saja kurban yang baik secara kualitas dan kuantitaslah yang diterima Allah. Rasa iripun menguasai si kakak, lantas ia mengancam untuk membunuhnya adiknya. Lantaran rasa takutnya kepada Allah, adiknya tak mau meladeni dan membalas ancaman tersebut meskipun ia lebih perkasa. Akhirnya, tumpahlah darah manusia untuk pertama kalinya. Dibunuhlah sang adiknya, sekalipun setelah itu sang kakak merasakan penyesalan yang amat dalam.